welcome to my blog

you may see all konten in here..

Selasa, 03 Januari 2012

Kata Serapan Arab dalam Bahasa Indonesia

Salah satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, adalah kenyataan bahwa bentuk asli dari beberapa kata itu telah dihapus akibat proses pembaruan bahasa Indonesia, di mana sebagian kata telah melalui suatu proses buatan. Selama proses pembaruan atau standardisasi atau kodifikasi ini, komite bahasa dan lainnya memutuskan mana yang semestinya dianggap tepat dan mana yang tidak.

Pesantren mungkin juga mempunyai peran penting, karena justru sekolah ini mengajarkan bahasa Arab kepada mereka yang menetap di Indonesia. Sebagai akibatnya, banyak kata mengalami perubahan dan sejumlah bentuk pun telah hilang. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu, seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.

Kata-kata bahasa Arab, yang diserap dalam bahasa Indonesia melalui berbagai bahasa daerah di kepulauan Indonesia, seperti bahasa Jawa atau Sunda, atau dialek Melayu, seperti Betawi, berubah menjadi suatu wujud baru bahasa Arab klasik dan mengalami suatu proses re-arabisasi atau umumnya telah hilang sama sekali. Jika kata-kata ini dibawa oleh pedagang Arab, masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena para pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain dalam bahasa ibu mereka.

Mereka bahkan biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik. Hal ini akan agak berbeda apabila para guru Islam turut berperan. Mengingat sebagian besar kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk yang klasik, maka masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kata-kata tersebut masuk di kepulauan Indonesia, terutama lewat orang-orang yang menguasai bahasa Arab tulisan dan yang biasanya tidak menggunakan bahasa kolokial, yaitu guru dan ulama Islam (yang berasal dari Arab, Persia, Indonesia, dan daerah lainnya) di pesantren, masjid, dan sebagainya serta mungkin juga lewat para penyusun kamus. Namun, terbukti juga adanya temu muka langsung dengan para pedagang Arab yang menggunakan bahasa kolokial.

Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apa pun, yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik. Namun, Kees Versteegh (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta‘ (Arab = jamal, Mesir = gamal)” dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba). ”

Sehubungan dengan kemungkinan latar belakang Mesir ini, perlu dicatat bahwa menurut beberapa sumber, pedagang dari Kairo sudah mulai aktif di Jawa paling tidak pada abad ke-11. Namun, perlu dicatat bahwa kata-kata yang digunakan sebagai contoh oleh Versteegh sama sekali tidak digunakan dalam bahasa Indonesia modern. Kata yang biasanya digunakan untuk jamal dalam bahasa Indonesia adalah unta. Selain itu, jumlah contoh yang diberikan di sini begitu kecil (hanya tiga, dua di antaranya sudah usang atau tak dikenal). Sehingga, sulit untuk menguatkan tesis bahwa kata-kata seperti itu diserap dalam bahasa Indonesia lewat bahasa Arab kolokial, entah itu dari Mesir, Hadramaut, atau daerah lainnya.

Akhir kata, pengaruh bahasa Arab Hadramaut terhadap proses penyerapan kata ke dalam bahasa Indonesia, sebaiknya jangan dianggap mempunyai dampak yang besar, karena sebagian besar generasi baru masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia juga sudah tidak menguasai lagi bahasa Arab, akibat adanya perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Mereka sebagian besar mengikuti bahasa ibu mereka yang keturunan Indonesia. Saya belum berhasil menemukan bahasa kolokial khas Hadramaut, walaupun telah menemukan beberapa jejak bahasa Arab kolokial yang berasal dari Semenanjung Arab.

Dalam bahasa Indonesia modern, nama untuk hari Rabu tidak saja memperlihatkan latar belakang kolokial, tetapi juga regional. Di Yaman dan beberapa bagian daerah di Arab Saudi (namun tidak di Oman), Selasa dan Rabu disebut thaluuth dan rabuu’. Rabuu‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Rabu.

Nama-nama hari lainnya dalam bahasa Indonesia Hari Ahad [bahasa Arab: Yawm al-Ahad], Senin [al-Ithnayn], Selasa [al-Thalatha'], Kamis [al-Khamis], Jumat [al-Jum'ah],dan Sabtu [al-Sabt] mendekati bentuk kata Arab klasik dan tidak memperlihatkan pengaruh dialek apa pun kecuali Senin, yang berbeda dengan Rabu, tidak diketahui jelas daerah asalnya. Bentuk alternatif Isnin, juga ditemukan di beberapa kamus, lebih dekat dengan Arab klasik (Yawm al-Ithnayn).

Saya tidak (atau belum) menemukan contoh jelas lainnya dari bahasa Arab kolokial dalam bahasa resmi Indonesia kecuali kata khalas (selesai), yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tanpa konotasi kolokial. Namun demikian, berbagai contoh bahasa Arab kolokial dapat ditemukan dalam bahasa Melayu kolokial. Dalam bahasa Betawi juga terdapat beberapa contoh. Dalam Glosari Betawi karya Ridwan Saidi (2007), saya menemukan berbagai kata serapan Arab yang khas kolokial (tidak klasik). Misalnya: kata syuf (lihat!) adalah khas kata Arab kolokial. Contoh lain adalah fulus (uang, juga dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kolokial), halas (telah tercantum sebagai khalas dan juga diterima dalam bahasa Indonesia resmi) dan ta’al(datang!).

Ada juga kata serapan Arab yang dalam bahasa Arab sendiri tidak termasuk kolokial, namun ditolak dalam bahasa Indonesia standar karena kata-kata tersebut dianggap sebagai kata kolokial dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Betawi, misalnya, terdapat tajir (dalam bahasa Arab berartipedagang), sedangkan di sini artinya adalah `sangat kaya‘. Kamus besar bahasa Indonesia umumnya tidak memuat kata-kata seperti itu, mungkin karena kata-kata itu dianggap sebagai bahasa kolokial Indonesia atau bahasa gaul.

Nafsu dan salju: akhiran semu klasik
Sejumlah akademisi menyimpulkan bahwa akhiran -u dalam kata serapan Arab pada Bahasa Indonesia, seperti nafsu dan salju merupakan tinggalan dari akhiran dalam tata bahasa Arab klasik. Dalam artikelnya, The Arabic component of the Indonesian lexicon (2003), Kees Versteegh mengemukakan, ”Sebuah kasus istimewa adalah kata berakhiran -u/-i seperti napsu (bahasa Arab: nafs), salju/salji (bahasa Arab: talj), waktu (bahasa Arab: waqt), wahi/wahyu (bahasa Arab: wahy), abdi/abdu (bahasa Arab: `abd), rejeku/rejeki/rezeki (bahasa Arab: rizq).”

Beberapa dari kata ini mungkin baru-baru ini saja dipinjam oleh kaum terpelajar, yang mengenal bahasa Arab dan mencoba untuk menirukan bentuk akhiran Arab ini. Ini diterapkan misalnya pada salju dan hampir pasti pada wahyu. Namun, kita jangan mengesampingkan kemungkinan bahwa beberapa kata ini yang berasal dari bentuk kuno dari kata serapan berakhiran -u, merupakan cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu > -o, -u. Dalam hal kata napsu, misalnya, arti dalam bahasa Indonesianya mungkin berasal dari kata nafsu-hu dengan dugaan penafsiran dari `[itu] pikirannya, maksudnya’.

Dalam hal kata perlu, contoh ini mungkin memberikan penjelasan untuk gramatikalisasi dari fardu-hu ‘[itu] tugasnya’ > ‘ia harus‘. Bentuk kata serapan fardu, yang tidak mengalami perkembangan ini, tetapi hanya mempunyai arti `kewajiban moral’, mungkin memperoleh akhirannya sebagai akibat dari re-arabisasi baru-baru ini. Berdasarkan Versteegh, Stuart Campbell menyampaikan pendapat yang sama dan bahkan menguraikan tentang jalur India Selatan (South Indian connection) dalam artikelnya Indonesian/Malay (Encyclopedia of Arabic Language and Linguistics ): ”Sejumlah kata serapan berakhiran -u dan/atau -i, misalnya napsu/nafsu < nafsu, perlu, wahyu, salju/salji. Sementara beberapa ahli mengemukakan pendapat bahwa akhiran -u merupakan bukti adanya pengaruh India Selatan, Versteegh (2003) mempunyai penjelasan yang lebih meyakinkan, misalnya usaha yang polos untuk menirukan bentuk akhiran atau cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu.”

Perlu dicatat di sini bahwa konsep `kepolosan’ ini bukan diperkenalkan oleh Versteegh, melainkan tambahan oleh Campbell. Menurut saya, petunjuk dari bentuk akhiran ini tidak ditemukan dalam kata asli bahasa Arab, tetapi dalam struktur bahasa penerima. Faktor ini tidak diperhitungkan di sini.

Jika hal itu dilakukan, penjelasannya akan menjadi lebih sederhana dan jelas. Bentuk akhiran dalamkata seperti salju dan waktu, semestinya hanya perlu dilihat sebagai bentuk yang telah disesuaikan dalam struktur fonologi dan suku kata Melayu dan bahasa Indonesia. Seperti yang ditulis oleh James Sneddon dalam penelitiannya berjudul The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society tentang kata serapan awal, ”Bagian (akhir) kata dihilangkan, baik dengan penambahan vokal, seperti dalam lampu (bahasa Belanda: lamp) dan pompa (bahasa Belanda pomp). Kata serapan awal terkadang menambahkan sebuah vokal akhir, seperti buku (dari bahasa Belanda: boek).”

Gejala yang sama tampak juga dalam kata serapan bahasa Arab. Contoh lainnya adalah abdu/abdi, ilmu, dan kalbu. Di samping nafsu, kita juga bisa menemukan nafas dan napas, yang juga cocok dengan aturan bahasa Melayu/bahasa Indonesia.

Tags: Dr. Nikolaos van Dam, indonesia, jakarta, kata serapan

Bahasa Indonesia Bisa Menjadi Bahasa Internasional

Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu yang mempunyai sejarah panjang sebagai lingua franca atau bahasa penghubung. Lingua franca digunakan ketika dua orang atau lebih yang berbahasa ibu berbeda berusaha berkomunikasi. Mereka menggunakan satu bahasa yang bagi mereka semua merupakan bahasa asing. Pada masa lalu, hal ini sering terjadi ketika manusia merantau ke negeri asing untuk berdagang, termasuk di perairan nusantara. Pada masa kini, bahasa Indonesia juga biasa menjadi lingua franca, misalnya ketika seseorang dari Sabang berkomunikasi dengan seseorang dari Merauke. Mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai jalan tengah.

Bahasa Inggris telah diakui oleh dunia sebagai bahasa internasional. Siapa pun yang ingin hidup global harus menguasai bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, PBB memang mengakui beberapa bahasa lain sebagai bahasa pengantar, yaitu bahasa Prancis, Rusia, China (Mandarin). Mereka dipilih karena digunakan oleh banyak manusia dan negaranya duduk di dewan keamanan.

Dari segi jumlah penutur, bahasa Indonesia juga unggul. Memang sulit untuk menandingi jumlah penutur bahasa Mandarin, tapi jumlah penutur bahasa Indonesia tidak kalah dari Rusia dan Prancis. Masalahnya, bahasa Rusia dan Prancis yang digunakan di negara lain menggunakan dialek yang berbeda. Tidak jarang bahkan bahasa Prancis harus bersandingan dengan bahasa lain sebagai bahasa nasional di negara tersebut, misalnya Kanada (bahasa Inggris dan Prancis) dan Belgia (bahasa Jerman dan Prancis).

Bahasa Indonesia menguasai dan dikuasai oleh lebih dari 200 juta penutur yang dipayungi negara yang sama. Televisi menggugah para penutur untuk menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta (bukan Betawi). Jadi, pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia semakin kecil. Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Apabila seorang turis sudah menguasai bahasa Indonesia, dia tidak perlu repot-repot belajar bahasa Malaysia lagi.
Faktor lainnya adalah tingkat kesulitan pemerolehan bahasa. Ketiga bahasa tersebut lebih sulit dipelajari daripada bahasa Inggris. Bahasa Prancis dan Rusia tidak hanya menggunakan kala (tenses) seperti bahasa Inggris, tetapi juga konjugasi (perubahan kata kerja berdasarkan kala) dan membedakan jenis kelamin kata benda (ini juga mempengaruhi kata sifat). Bahasa Mandarin bahkan mengenal lima nada suara yang membedakan arti dan tidak menggunakan huruf Latin.

Di sisi lain, bahasa Indonesia sangat mudah dikuasai, terutama tingkat dasar. Turis asing yang berwisata di Indonesia dapat berkomunikasi dengan kalimat-kalimat sederhana seperti “Saya lapar” atau “Di mana saya bisa beli ini?” dalam tiga hari. Kemampuan yang sama dalam bahasa China butuh waktu satu bulan atau lebih.

Bahasa Indonesia tidak mengenal kala, konjugasi, maupun jenis kelamin kata benda. Lafal bahasa Indonesia juga tidak sulit karena lebih tipis atau ringan. Hanya ada sedikit bunyi yang sulit, misalnya [ny] dan [ng]. Kalaupun orang asing bermasalah ketika mengucapkannya, orang Indonesia masih memahami maksudnya.

Bagaimana dengan bahasa-bahasa lainnya? Bahasa Korea dan Jepang mempunyai berbagai macam akhiran yang melekat pada kata kerja, tergantung situasi percakapan dan lawan bicaranya. Bahasa Arab mempunyai 10 tingkat intensitas kata kerja. Semua ini tidak ada di dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia tingkat menengah dan lanjut memang lebih susah. Penggunaan imbuhan di dalam bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang sederhana. Namun, kehadiran seorang guru yang ahli dan sistematis dapat menanggulangi masalah ini. Kecenderungan bahasa Indonesia menyerap kosakata bahasa Inggris juga memudahkan orang asing untuk menambah kosakatanya. Kecenderungan seperti ini bukanlah sesuatu yang perlu dianggap sebagai kelemahan bahasa Indonesia karena bahasa Inggris pun banyak menyerap kosakata bahasa Latin dan Yunani.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya rasa bahasa Indonesia pantas menjadi bahasa internasional, terutama di PBB. Tentu saja upaya yang harus dilakukan tidak hanya dari segi sosial dan budaya, tetapi juga ekonomi dan politik. Apabila posisi Indonesia semakin kuat di mata dunia, semakin banyak orang yang merasa perlu menguasai bahasa Indonesia. Dengan demikian, terwujudnya bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional bukan mimpi belaka.

Tags: bahasa, bahasa indonesia, bahasa internasional, Bahasa Malaysia, Melody Violine

Bahasa Indonesia, Siapa yang Seharusnya Belajar?

Lïlïkïnsï de kara son hap de zini sa zaho ta gwibin zini in hap talusublula. Zëre mo domba zahona hen zëno ola man tame nul gwenan. Zëno mae mo bosem-sena kim gubirida gwenda, dekam zep wet noso gweblanan.

Bahasa apakah di atas? Yang pasti bukan bahasa Klingon dari film Star Trek. Tulisan di atas adalah bahasa Orya. Bahasa lokal yang digunakan oleh saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di Papua. Penggunanya hanya sekitar 2000 orang namun hingga kini bahasa tersebut masih digunakan. Juga dilestarikan lewat Injil yang diterjemahkan ke bahasa Orya.

Bahasa Orya hanyalah salah satu dari sekitar 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa-bahasa lokal di wilayah timur Indonesia umumnya tidak berasal dari bahasa yang serumpun dengan bahasa Melayu sehingga jarang sekali ditemukan kata-kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Tapi untunglah ada bahasa Indonesia sehingga jika kita misalnya harus pergi ke Papua kita tidak perlu belajar bahasa Orya dulu. Dengan bahasa Indonesia kita bisa berkomunikasi dengan penduduk di Papua.

Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia.

Bagi generasi sekarang, persatuan yang diperjuangkan oleh pimpinan terdahulu mungkin tidak akan terlalu terasa magisnya. Kesaktian Sumpah Pemuda bisa jadi cukup sulit untuk dipahami karena Indonesia sudah bersatu dan bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan ketika mereka lahir. Kalau Anda menjadi diplomat di luar negeri atau tinggal di luar negeri mungkin baru akan terasa bahwa bahasa Indonesia mampu menghadirkan rasa persatuan di kalangan warga negara Indonesia.

Dr. Tom Boellstorff , ahli anthropologi dari University Of California, Irvine, Amerika pernah melakukan penelitian tentang bahasa gay atau bahasa banci di Indonesia – bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi kaum homoseksual di Indonesia. Dalam artikelnya “Gay Language and Indonesia: Registering Belonging” yang dimuat di Journal Of Linguistic Anthropology terbitan American Anthropological Association, Dr. Boellstorff menulis bahwa bahasa gay atau bahasa banci adalah salah satu bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh bahasa persatuan Indonesia dalam pembentukan bahasa gay. Kemanapun kita pergi, tidak akan ada perbedaan yang berarti antara bahasa banci yang digunakan di Jakarta, Makasar atau Bali. Yang ada hanya bahasa banci Indonesia atau bahasa gay Indonesia. Seperti ada rasa kesatuan dan nasionalisme di kalangan homoseksual di seluruh Indonesia yang terbentuk lewat bahasa. Keberadaan bahasa banci walaupun ada kosa kata yang berasal dari bahasa daerah seperti bahasa Jawa atau bahasa Bali, pada proses transformasinya selalu mengacu pada tata bahasa Indonesia. Hal ini merupakan akibat atau konsekuensi dari posisi unik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang memegang peranan penting dalam membangun rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa banci inilah yang akhirnya menjadi bahasa gaul.

Bahasa Indonesia juga mempengaruhi pembentukan bahasa informal di Indonesia secara nasional. Seorang konsultan Amerika yang pernah selama enam belas tahun tinggal di Papua menyatakan ketakjubannya ketika mendapati bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Jakarta dan pulau Jawa ternyata tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia informal yang digunakan oleh penduduk di Papua.

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa salah satu faktor pemelihara persatuan bangsa adalah bahasa. Tanpa kita sadari kita telah tumbuh menjadi bangsa yang menghargai persatuan. Toleransi kita terhadap perbedaan suku, ras, agama dan bahasa daerah sangat tinggi. Tidak ada bangsa Jawa, bangsa Papua atau bangsa Bali. Yang ada satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.

Tahukah Anda, bahwa bahasa persatuan Indonesia yang kita anggap biasa-biasa saja ini diidamkan oleh negara tetangga? Di bawah ini adalah lontaran pemikiran yang dikutip dari www.malaysia.youthsays.com, sebuah wadah tempat generasi muda Malaysia bertukar pikiran, pendapat dan melontarkan pertanyaan,

Kenapa rakyat Malaysia tak suka berbahasa Melayu? Kita lihat ramai rakyat Malaysia yang tak suka berbahasa Melayu/Malaysia. Malahan laman web untuk generasi muda Malaysia sendiri tidak menggunakan bahasa kebangsaan atau sekurang-kurangnya dwibahasa. Sedangkan rakyat Indonesia yang berbilang bangsa membawa bahasa mereka ke serata dunia. Sila beri pendapat anda.

Posisi Bahasa Indonesia di Dunia
Sebagai bahasa persatuan bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. (Data bulan Juli 2009: CIA The World Fact Book). Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Sejak bulan Maret 2009 situs informasi pendidikan luar negeri di Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan cepat mengenai pendidikan di Singapura.

Konon saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?

Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta seharusnya bahasa Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga.

Pada kenyataannya bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur. Atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96 juta penutur.

Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008 10 bahasa paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika adalah: Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina/Mandarin, Latin, Rusia, Arab dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik di bidang geopolitiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi dan Indonesia, karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI(Federal Bureau of Investigation).

Seiichi Okawa, koresponden salah satu stasiun TV Indonesia di Tokyo, bercerita bahwa sejak tahun 2003, minat warga Jepang untuk belajar bahasa Indonesia turun tajam. Bangkitnya perekonomian Cina dan juga tingginya pengaruh sinetron-sinetron Korea yang banyak diputar di Jepang membuat orang Jepang lebih suka belajar bahasa Cina atau Korea. Mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia umumnya bukan karena ingin belajar bahasa Indonesia tapi karena tidak diterima di jurusan bahasa Inggris, Perancis dan bahasa lainnya.

Sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden kantor berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007 penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, Korea (15,3 persen), dan Jepang (1,5 persen). Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya banyak Universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia. Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Australia.

Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan John Howard, pemberlakuan peringatan perjalanan atau ‘travel advisory’ yang dikeluarkan pemerintah Australia setelah peristiwa bom bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.

Dr. James Sneddon, associate professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon, yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar bahasa Inggris, Perancis dan lain-lain.

Selain itu kemahiran perdana menteri Australia, Kevin Rudd, berbahasa Mandarin kini ikut mempengaruhi melonjaknya minat orang Australia belajar bahasa Cina.

Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Diglosia di dalam bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Baru beberapa tahun terakhir saja bahasa informal mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan formal banyak para penutur di Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan cenderung bebas. Hal ini menimbulkan kebingungan, kata mereka.

Bahasa Indonesia di Indonesia
Bagaimana keadaannya di Indonesia? Ternyata meski digunakan setiap hari, masih banyak masyarakat yang tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mata pelajaran bahasa Indonesia sangat kurang diminati para siswa. Hasil Ujian Nasional selalu menunjukkan banyaknya siswa yang memiliki nilai ujian bahasa Inggris yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian bahasa Indonesia. Diantara 6 mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia menempati peringkat tersusah untuk dipelajari.

Banyak guru menyayangkan bahwa selama ini pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah hanya menjadi semacam syarat. Murid tidak memahami secara mendalam tentang tata cara dalam berbahasa yang sesungguhnya. Padahal bahasa akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak dilatih dan dibina secara serius. Idealnya para siswa harus dibiasakan membaca koran, karya-karya sastra, menulis esei dan menganalisa tulisan serta menonton siaran berita televisi.

Namun hal ini juga belum tentu menyelesaikan persoalan. Karena saat ini tidak semua media memiliki acuan dalam pembakuan kosa kata dan istilah sehingga terjadi ketidakseragaman istilah yang pada gilirannya merusak bahasa Indonesia dan membingungkan penuturnya.

Pemerintah Daerah pun umumnya kurang perduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Ketidaktertiban dalam berbahasa banyak sekali ditemukan di ruang publik.

Ketika presiden Amerika Barack Obama mengunjungi Departemen Luar Negeri AS pada hari kedua pelantikannya dan menyapa seorang karyawannya dalam bahasa Indonesia, peristiwa itu diberitakan ramai – ramai di Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia merasa bangga bahwa seorang presiden Amerika bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Walaupun yang diucapkannya hanya “Terima kasih. Apa kabar?”.

Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam, mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kita semua menyambut gembira berita itu karena merasa disejajarkan dengan Bahasa Inggris, Prancis dan Jepang

Kita selalu merasa bangga dan senang bukan kepalang kalau orang asing mampu berbicara dan menganggap penting bahasa Indonesia. Sebaliknya kita tidak merasa terganggu ketika sebagian dari kita tidak mahir berbahasa Indonesia.

Dr. Anton M. Moelyono pernah berkata:. “Sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa”

Jadi sebetulnya siapakah yang seharusnya belajar bahasa Indonesia?

Artikel ini dimuat di Kompas 29 Oktober 2009

Tags: bahasa indonesia, Bahasa Orya, Barack Obama, Dr. Anton M. Moelyono, Dr. James Sneddon, Dr. Tom Boellstorff, indonesia, Papua, Seiichi Okawa, Sumpah Pemuda, Wieke Gur.

Kata, frasa, klausa, dan kalimat

Keempat istilah yang menjadi judul tulisan ini sering membingungkan orang yang belum sempat mempelajari linguistik: termasuk saya. Definisi yang diperoleh pada KBBI seperti yang tercantum di bawah ini pun tidak menolong menyembuhkan kebingungan tersebut.

Kata adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri.
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif.
Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat.
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa.

Jadi apa bedanya?

Dari definisi yang diberikan, terlihat bahwa urutan satuan tersebut, dari yang terkecil sampai yang terbesar, adalah (1) kata, (2) frasa, (3) klausa, dan (4) kalimat. Agar lebih jelas, ada baiknya kita bedah suatu contoh seperti di bawah ini.

Pejabat itu pernah mengatakan bahwa Indonesia dapat berperan aktif dalam perdamaian dunia.

Kalimat dan kata paling mudah dikenali. Contoh tersebut adalah satu kalimat yang relatif berdiri sendiri dan memiliki intonasi final. Kalimat tersebut tersusun dari 12 kata yang dikenali sebagai satuan yang dipisahkan olehspasi.

Klausa dikenali dari bagian yang memiliki subjek dan predikat serta memiliki potensi menjadi kalimat. Kalimat itu memiliki 2 klausa yang dihubungkan dengan kata bahwa, yaitu (1) pejabat itu pernah mengatakan dan (2)Indonesia dapat berperan dalam perdamaian dunia.

Menguraikan frasa sedikit lebih sulit. Frasa paling sedikit harus terdiri dari dua kata dan tidak memiliki subjek-predikat. Kalimat tersebut memiliki 4 frasa: (1) pejabat itu, (2) pernah mengatakan, (3) dapat berperan aktif, (4)perdamaian dunia. Kata bahwa, Indonesia, dan dalam tidak dimasukkan dalam frasa karena memiliki fungsi sendiri dalam bentuk tunggal.

Mudah-mudahan saya tidak salah dalam menjabarkannya. Maklum, tulisan ini dibuat dalam upaya untuk belajar juga.

Tags: frasa, Ivan Lanin, kalimat, Kata, klausa

Kata, Dipakai Dibuang Sayang

Mungkin awalnya orang Arab hanya tahu bersetubuh, yaitu ketika kelamin laki-laki dan perempuan saling bertemu. Disebutlah jima’ yang artinya berkumpul atau bertemu. Dan ketika unta-unta mereka berkumpul di padang rumput, mereka mengatakan ijtama’a al-ibil (unta-unta berkumpul). Hebatnya, dari ide sederhana ini mereka menemukan kata-kata jadian lainnya: ijma’ (kesepakatan ulama), ijtima’ (bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus), mujtama’ (orang-orang yang hidup bersama di satu tempat atau masyarakat), jami’ah (tempat mahasiswa belajar atau universitas), jum’at (hari orang berkumpul untuk melaksanakan salat bersama—salat jum’at), dan jama’ah (sekumpulan orang yang berada dalam satu garis kepemimpinan). Kata-kata ini selanjutnya digunakan sebagai istilah untuk menyebut berbagai hal yang ada dalam kehidupan mereka. Ada pola baku yang selalu diikuti sehingga bahasa Arab tidak saja berhasil mengembangkan berbagai macam peristilahan, ia juga mampu menjelaskan ide yang paling kompleks sekalipun.

Ketika Islam datang ke Nusantara, kita memborong kata-kata ini tanpa memerhatikan kaidah yang ada di belakangnya. Akibatnya adalah, bahasa kita kaya dengan kosa kata, namun miskin dalam peristilahan. Kita tidak punya istilah khusus untuk menyebut peristiwa sejajarnya bumi, bulan, dan matahari dalam satu garis, yang menandakan bulan baru. Dan ternyata banyak istilah penting dalam bahasa kita diambil dari bahasa asing. Hal ini sebenarnya biasa dalam bahasa. Bahasa apa pun menyerap kata atau istilah asing. Hanya masalahnya, kebiasaan ‘memborong’ itu terus berlanjut. Mengapa kita tidak membuat istilah sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat bahasa Arab, sebuah bahasa yang banyak menyumbang bahasa kita. Bahasa Arab memiliki metode tasrif (perubahan kata) yang bertujuan memperluas fungsi kata. Dari sini didapatkan istilah baru untuk mengungkap konsep baru. Siapa sangka bahwa kata tarbiyah (pendidikan) dalam bahasa Arab diambil dari kata rabwah, artinya humus, bunga tanah di mana tanaman bisa tumbuh subur. Dan siapa sangka pula bahwa syari’ah memiliki makna “jalan menuju mata air.” Di sini kita melihat penamaan didasarkan pada kesamaan atau kemiripan ide dasar. Perluasan terjadi karena kata tidak hanya punya arti yang sebenarnya (makna haqiqi), namun juga arti kiasan (makna majazi).

Di samping itu, dalam bahasa Arab, kata mempunyai sejumlah bentuk: kata kerja, kata benda, kata sifat, kata keterangan, dan masing-masing memiliki sub-bentuk, sehingga satu kata bisa memiliki belasan kata jadian. Kata “kataba” (menulis), misalnya, memiliki tasrif “kitab” (buku), “katib” (penulis), “maktab” (meja tulis), “maktabah” (perpustakaan), dan seterusnya. Ide “menulis” erat kaitannya dengan “buku,” dengan “perpustakaan.” Metode ini sederhana namun cerdas, karena bahasa bisa berkembang sedemikian rupa, melampaui simpul-simpul lokalnya untuk menampung ide-ide baru.

Dalam pengamatan saya, bahasa Indonesia pun memiliki metode ini, hanya memang tidak terstruktur dengan baik, sehingga kita seringkali mencari kata baru untuk membuat istilah baru. Padahal ide dasarnya sudah terkandung dalam perbendaharaan kata kita. Pada saat itulah godaan untuk meminjam istilah-istilah asing begitu dahsyat. Kata “biak” punya sejumlah bentuk jadian: membiak, pembiak, pembiakan, biakan, terbiak, dst. Sejauh ini kata ini hanya digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak. Mengapa tidak kita gunakan “pembiakan” untuk “investment,” dan “pembiak” untuk “investor?” Mengapa kita hanya berani menggunakan “unduh” untuk “download?”

Dalam beberapa hal kita berani. Kita menemukan banyak kata baru akhir-akhir ini. Namun keberanian saja tidak cukup. Kita harus punya pola, salah satunya dengan cara memperluas fungsi kata: unduh, mengunduh, unduhan, pengunduh, pengunduhan, terunduh, keterunduhan, dst. Setelah kata-kata ini tercipta, mereka bisa digunakan untuk peristilahan lainnya. Kita bisa gunakan “pengunduhan” untuk “rush” (penarikan uang dalam jumlah besar karena peristiwa tertentu) dan “profit taking” (usaha ambil untung).

Sejauh ini ada upaya kreatif dari berbagai kalangan untuk menjajal kata-kata baru. Ini patut dihargai dan diteruskan. Gerus adalah kata yang relatif baru. Dalam benak saya, “menggerus” adalah proses pelumatan cabe, bawang, terasi di cowet untuk membuat sambal. Kata ini sekarang dipakai untuk berbagai hal yang berhubungan dengan longsor dan erosi. “Tebing itu akhirnya ambruk karena tergerus air.” Kita tentu bisa perluas lagi penggunaan kata ini, tidak saja untuk erosi dan abrasi, tapi juga untuk segala tindakan yang berhubungan dengan mengontrol dan menguasai. Setiap kali mendengar kata ini, saya menangkap kesan negatif sehingga kita bisa memadankannya dengan “intervensi.” “Pemerintah semakin menggerus kekuatan masyarakat sipil.” Mengapa tidak? Setelah bersusah payah menemukan kata itu, mengapa kita buang.

Tags: bahasa Arab, bahasa indonesia, Jajang Jahroni, Kata, kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata sifat

Membangun Bangsa Dengan Bahasa Indonesia

Istilah pembangunan bangsa tidak hanya berkaitan dengan pembangunan di bidang ekonomi, tapi juga di bidang politik, sosial dan budaya. Ada 3 hal yang harus diperhatikan. Hal pertama yang paling penting adalah kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Semakin kita jauh dari proklamasi tahun 1945, mengharuskan kita untuk senantiasa memperkaya kosa kata bahasa indonesia karena permasalahan kita semakin banyak dan kompleks sifatnya. Yang juga penting adalah keterkaitan kita dengan daerah-daerah di seluruh Indonesia dimana tidak bisa keputusan keputusan itu dibuat sendiri oleh Jakarta tapi juga harus menyertakan keinginan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Dalam hal ini peran bahasa Indonesia sangat penting agar tidak timbul kesalahpahaman.

Pada waktu ini memang terjadi rebutan dalam penggunaan bahasa dari berbagai pihak untuk memahami apa yang terjadi di dunia. Termasuk di ASEAN yaitu antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Kesulitan-kesulitan ini adalah salah satu penyebab timbulnya penggunaan kosa kata yang campur aduk di dalam siaran TV dan media lainnya. Bahasa yang campur aduk ini menjadi semakin sulit untuk dimengerti oleh rakyat.

Misalnya saja untuk mengatakan bahwa argumen yang disampaikan oleh pak menteri tidak mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak solutif. Itu maksudnya apa? Dan banyak sekali kata-kata seperti itu.

Fenomena ini juga terjadi di Perancis. Orang perancis sendiri merasa diserbu oleh kosa kata bahasa Inggris. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat baru memiliki sekitar 90 ribu lema. Padahal Roget’s Thesaurus yang dijangkar di perpustakaan karena sangat mahal harganya, memiliki hampir satu kosa kata. Itu sebabnya bahasa Indonesia makin didesak oleh keperluan dari luar sehingga timbul penggunaan kosa kata bahasa Inggris yang berlebih. Dan akhirnya makin menyulitkan komunikasi kita dengan rakyat.

Yang kedua, semakin jauh kita berjalan, semakin banyak persoalan yang menimbulkan makin tingginya keperluan untuk senantiasa mengembangkan bahasa Indonesia. Contohnya Talk Show yang kini banyak diselenggarakan oleh media elektronik menimbulkan banyak perdebatan atau polemik baik di surat kabar maupun media digital seperti internet. Bahasa Indonesia akhirnya menjadi keperluan kita untuk membangun konsensus yang dikehendaki oleh musyawarah mufakat.

Tapi memang ada sisi negatifnya, yaitu, dengan menyebarnya bahasa Indonesia ke seluruh pelosok nusantara, kini semakin banyak suku bangsa, daerah dan kelompok agama, kini mampu mengungkapkan ketidak puasannya terhadap satu sama lain. Dalam keadaan demikian ada yang berpendapat konflik lebih mudah terjadi. Dulu, tanpa bahasa pemersatu masing-masing daerah akan sulit berkomunikasi apalagi menyatakan kemarahan. Misalnya antara suku Banten Selatan dengan Tapanuli Utara atau daerah Minahasa dengan Bugis. Hal negatif lainnya adalah, seperti dikemukakan oleh UNESCO, hampir 700 bahasa regional di Indonesia terancam punah.

Yang terakhir adalah, jika kita menengok dunia film, dunia sastra dan dunia teater, bahasa Indonesia membuat kesusastraan, kebudayaan dan dunia seni Indonesia menjadi semakin kaya. Setiap lakon daerah kini bisa dibawa atau ditayangkan ke wilayah lainnya di Indonesia. Dengan teknologi multimedia, semakin banyak dorongan bagi para seniman untuk lebih kreatif menggapai pasar Indonesia yang luas ini.

Inilah tiga soal yang harus diperhatikan mengapa bahasa Indonesia memerlukan perluasan kosa kota yang cepat dan terus menerus sebagai bagian dari pilar pembangunan bangsa lewat pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Tags: bahasa, budaya, Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, kebudayaan, komunikasi, pembangunan bangsa, politik

Bahasa Indonesia, Pentingkah?

Saat ini, kalau kita perhatikan pemimpin-pemimpin di Malaysia berpidato, sebagian besar gaya bahasa mereka sudah hampir serupa dengan gaya bicara pemimpin-pemimpin di Indonesia. Apalagi kalau kita ambil contoh tokoh Anwar Ibrahim. Gaya pidatonya sudah hampir tidak dapat dibedakan dengan gaya orang Indonesia. Malah kalau saya perhatikan gaya pidato orang Indonesia justru semakin buruk. Dalam pidato resmi banyak sekali diselipkan kosakata bahasa Inggris atau istilah yang keinggris-inggrisan.

Fenomena lain yang juga menarik diamati adalah bahwa semakin ke timur maka bahasa Indonesia penduduk di wilayah Indonesia timur seperti Maluku, Papua justru lebih baik dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah barat. Bahasa Indonesia mereka secara murni diperoleh dari buku teks dan merupakan bahasa formal yang digunakan sehari hari.

Rakyat kita di daerah umumnya tidak mengerti pidato-pidato yang disampaikan oleh orang-orang Jakarta. Misalnya saja untuk mengatakan bahwa argumen yang disampaikan oleh pak menteri tidak mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak solutif. Itu maksudnya apa? Belum tentu rakyat kita mengerti. Namun itulah yang terjadi di Indonesia bagian barat terutama yang dekat dengan Jakarta.

Apakah ini gejala ketidak perdulian bangsa kita pada bahasa Indonesia? Sebenarnya tidak juga. Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia juga sangat gencar didesak oleh bahasa Inggris. Saya banyak belajar bahwa ketika di antara kita sendiri masih diliputi banyak persoalan, tiba-tiba kita terjebak dengan keharusan menggunakan bahasa Indonesia dimana banyak sekali istilah yang belum disamakan atau dipadankan. Generasi muda kita tumbuh di bawah pengaruh bahasa Inggris yang kuat. Akibatnya, dalam dunia komunikasi yang serba cepat ini, ketika mereka diharuskan berkomunikasi dalam konteks bahasa Indonesia, mereka sering tidak ada waktu untuk berpikir karena tidak memiliki perbendaharaan bahasa Indonesia yang cukup. Akhirnya keluarlah bahasa yang campur aduk. Contoh yang paling mudah adalah, banyak sekali di antara kita yang tidak bisa membedakan antara isu dan problem. Padahal something that is problematic doesn’t mean an issue.

Sebaiknya para generasi muda menyadari pentingnya menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apalagi kalau mereka menjadi tokoh-tokoh politik, maka ketidak mampuan mereka berbahasa Indonesia akan menimbulkan kesenjangan mental dan jarak dengan rakyat Indonesia. Buat rakyat ini orang ngomong apa – di daerah mereka itu disebutnya bahasa orang jakarta – karena mereka tidak mengerti. Sebabnya berhati-hatilah.

Sebagai pimpinan BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional) saya sering turun ke daerah-daerah di Indonesia. Sering saya harus bicara dengan penduduk lokal yang nilai pinjamannya hanya 5 juta rupiah dengan bahasa Indonesia tidak hanya yang baik dan benar tapi juga harus lebih pelan agar mereka mengerti. Tidak mungkin saya menggunakan istilah collateral atau credit worthiness dengan mereka.

Saya kaget sekali ketika saya membantu gubernur Aceh, di Aceh Utara ternyata bahasa Indonesia saya tidak dimengerti oleh rakyat di sana. Saya harus membawa putera-putera Aceh untuk membantu saya menterjemahkan apa yang saya ingin sampaikan. Bahasa Indonesia yg kita bawa dari Jakarta ternyata sudah melangkah terlalu jauh. Jadi kalo mereka-mereka yang hidup di kota tidak menyadari adanya kesenjangan ini, maka mereka akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan rakyat di daerah.

Sebagai ekonom saya menjadi obyek pengamatan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mereka heran, mengapa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dibawa-bawa ke konvensi melayu di Kuala Lumpur , atau bicara soal peradaban melayu di Riau. Akhirnya mereka menyadari karena saya mengajar mata kuliah perdagangam ekonomi, saya sangat memahami peranan bahasa indonesia sebagai lingua franca. Bahasa itu tidak statis, terus berubah saat dunia berubah. Saya kewalahan ketika saya harus masuk ke pembahasan tingkat falsafah ekonomi di S3, yaitu Landasan Filsafat Pemikiran Ekomomi, apalagi Metode Ekonometri, karena faktor matematika yang lebih abstrak, juga Faktor Analysis.

Contohnya, bagaimana kita menterjemahkan ”A correlation does not necessarily to causation“?



Tags: bahasa indonesia, Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

Cara Berpikir Masyarakat Mempengaruhi Perluasan Kosakata Bahasa Indonesia

Dalam upaya memperluas kosakata bahasa Indonesia, kita juga harus meningkatkan kemampuan masyarakat untuk terus mengembangkan cara berpikir. Karena setiap kali kita masuk ke dalam cara berpikir yang terlalu falsafah kita mendapatkan kesulitan yang luar biasa dalam pengungkapan.

Saya merasakan kesulitan tersebut di program S3. Bahasa Indonesia belum mampu menjabarkan soal-soal yang sangat rumit pada tingkat calon doktor yang memerlukan pendekatan falsafah. Faktor ini merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan resiko ketinggalan dari segala perdebatan yang terjadi di dunia. Kita semua tahu bahwa di abad 21 ini yang paling banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Ini sebetulnya merupakan ‘battle of ideas‘ karena yang diuji di dunia saat ini bukan hanya pengetahuan tapi juga kreatifitas. Bukan hanya kompetensi tapi juga reputasi.

Kemiskinan kosakata ini juga cukup merepotkan ketika saya harus membicarakan reformasi PBB. Untuk meliput masalah diplomasi internasional banyak istilah atau ungkapan yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Jadi tidak bisa disalahkan juga kalau kita terpaksa menggunakan istilah bahasa Inggris. Bahasa-bahasa diplomasi kita tidak cukup untuk menerangkan apa yang kita maksud.

Jaman pak Harto pernah didirikan sebuah lembaga kerja sama untuk menyamakan peristilahan di berbagai bidang ilmu, yang tujuannya untuk memungkinkan pencetakan buku di kawasan negara berbahasa Melayu bisa dilakukan dalam jumlah besar. Hal itu hanya mungkin jika peristilahan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan Indonesia bisa disamakan.

Contoh yang paling mudah adalah istilah bisnis depreciation. Di Indonesia istilah tersebut diterajang saja dengan istilah depresiasi. Teman saya dari Malaysia tertawa ketika mengetahui bahwa depreciation juga diterjemahkan sebagai penyusutan. Mereka bilang yang menyusut itu es. Kalau mesin itu tidak menyusut, karena yang menyusut adalah nilainya. Jadi menurut rekan saya itu terjemahan dari depreciation harusnya susut nilai. Jadi kalau accelerated depreciation dengan sendirinya berarti susut nilai dipercepat.

Contoh yang cukup sulit adalah pemahaman marginal. Di Malaysia diterjemahkan sut. Argumen saya konsep marginal itu secara matematis merupakan sesuatu yang sangat maju di luar ilmu berhitung biasa. Istilah itu saya ragukan, dan karena saya tidak yakin makan dalam bahasa Indonesia saya menggunakan istilah marjinal bukan sut. Hal-hal seperti inilah yang perlu kita benahi.

Ketidak sepahaman ini tidak hanya terjadi antar negara bahkan di antara kita sendiri, antar suku. Contohnya istilah saling bantah. Dalam bahasa Bugis itu disebut baku bantah, dimana penggunaan kata baku juga dipakai untuk baku hantam, baku pukul, baku bicara. Sementara sebagian dari kita menggunakan istilah berbalas.

Selayaknya Dewan Bahasa tiap negara berbahasa melayu menciptakan konsensus dalam hal penyamaan istilah di berbagai disiplin ilmu yang kemudian diundangkan agar menjadi istilah resmi yang digunakan oleh negara-negara yang berkepentingan.



Tags: Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, atau Bahasa Inggris

Ketika saya masih menjadi mahasiswa di University of California, Berkeley, di Amerika Serikat, saya oleh seorang antropolog saya diminta untuk bercerita tentang jenis permainan anak-anak di Banten, tempat kelahiran saya. Ketika saya menyanyikan lagu daerah yang digunakan dalam permainan tersebut, ada bagian yang kemudian mampu membuat kita trans atau kesurupan. Permainan tersebut bercerita tentang kamanting, seekor lebah kecil yg berpura pura mengejar teman teman lebah lainnya. Agar kita betul betul mampu berperan seperti lebah itu, maka kita dibuat trans atau kesurupan. Ketika antropolog tersebut meminta saya menterjemahkan arti lagu itu, saya sampaikan pada beliau bahwa jangankan ibu saya, nenek saya pun belum tentu tahu, apalagi saya. Sampai sekarang lagu itu masih ada, tapi tidak ada yang tahu apa artinya dan kenapa mampu menimbulkan trans. Punahnya bahasa daerah Banten membawa serta kepunahan budaya yang khas daerah tersebut.

Demikian juga Ninik Towok di Jawa atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang dipakai untuk upacara adat, belum tentu generasi sekarang mengerti maknanya.

Di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa dimana tiap kelompok etnik memiliki beberapa bahasa daerah. Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar suku, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang mempersatukan Indonesia.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran bahasa Indonesia ikut mendesak punahnya bahasa daerah. Di Indonesia ada 746 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang. Di Papua, dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra, jumlah bahasa daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Sementara di Sulawesi, bahasa daerah berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO, ke punahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya karena setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi dan budaya lokal.

Banyak istilah daerah ini sangat unik yang belum tentu dapat diterjemahkan begitu saja ke bahasa daerah lain atau ke bahasa Indonesia apalagi ke bahasa Inggris. Pengetahuan lokal tentang flora, fauna, alam sekitar, tradisi, seni dan budaya setempat banyak terekam dalam istilah atau bahasa daerah. Jika bahasa daerah punah maka kita akan kehilangan local wisdom dan sumber informasi lokal yang sangat penting.

Ketika saya mengamati peta mulai dari Hawaii, New Zealand hingga Indonesia Timur, saya berpikir, sebetulnya apakah yang menyatukan ras melayu polynesia di seluruh pacific. Ternyata kata ‘wa’. Di wilayah pacific ini banyak sekali tempat yang memiliki nama dengan awalan wa. Contohnya, Waingapu, Wakatobi, Wamena, Wanaka, Vanuatu, Wanganui, Waikiki, Wainaku dan lain=lain. Kata ‘wa’ ini pasti ada artinya yang berkaitan dengan wilayah polynesia.

Jadi keberadaan bahasa daerah selayaknya disejajarkan kepentingannya dengan bahasa Indonesia. Artinya seorang putera daerah Papua tidak hanya harus menguasai bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan suku bangsa lain tapi juga bahasa daerahnya. Karena kelangsungan bahasa daerah ada di tangan putera-putera daerah. Dan yang terakhir adalah juga menguasai bahasa Inggris agar mampu melakukan diplomasi internasional.


Tags: Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

Dokter Berdagang obat, Bukan Hanya Menyembuhkan

Tidak hanya menyembuhkan pasien, di balik ruang praktiknya para dokter sibuk dengan urusan jual beli obat. Selain membuat harga menjadi mahal, obat yang tak perlu juga ikut masuk kertas resep.

230706csigi.jpg

Liputan6.com, Jakarta: Tak ada yang ingin jatuh sakit. Menurunnya kesehatan membuat hidup menjadi tak nyaman. Namun di Indonesia bukan hanya hidup yang tak nyaman, sakit juga berarti seseorang harus merogoh kocek dalam-dalam. Nanti dulu bicara soal perawatan di rumah sakit. Untuk sekadar menebus resep obat kita sudah dibuat mengurut dada. Mahalnya harga obat-obat sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakat banyak.

Mahalnya harga obat di Indonesia bukan cerita baru. Hal ini sudah menjadi keluhan sejak lama. Kebijakan pemerintah untuk mengedarkan obat generik yang diklaim lebih murah dari obat paten malah berbalik. Di lapangan pasien ternyata mendapatkan fakta bahwa harga obat generik yang diresepkan dokter lebih mahal ketimbang obat paten [baca: Pengawasan Kurang, Harga Obat Mahal].

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Kesehatan serta Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga mengakui harga obat di Indonesia mahal bukan kepalang. Disinyalir harganya ada yang mencapai 200 kali lipat dari harga di pasaran internasional. Yang mengagetkan, salah satu penyebabnya tak lain tingginya biaya promosi dari produsen obat untuk dokter, rumah sakit serta apotek.

Tidak usah mencari pembenaran jauh-jauh, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Anthony Ch. Sunarjo tidak menampik sinyalemen tersebut. Menurutnya, cara-cara perusahaan farmasi dalam memasarkan produknya sudah sangat berlebihan. “Misalnya dalam mensponsori acara ilmiah kedokteran, kan tidak harus di hotel berbintang,” ujarnya.

Pangkal masalah mahalnya harga obat mudah ditelusuri. Saat ini ada lebih dari 200 produsen obat besar dan kecil di Indonesia, sementara konsumsi tidak seberapa, bahkan kalah jauh dibandingkan Kuwait yang memiliki penduduk cuma tiga juta jiwa.

Hal ini kemudian menciptakan persaingan tidak sehat di antara perusahaan farmasi yang ada. Mereka berlomba-lomba merayu dan melobi dokter, rumah sakit serta apotek, agar obat mereka menjadi acuan utama dalam pemberian obat kepada pasien. Jika berbagai kiat melariskan produk itu masih dalam koridor etika kedokteran yang ada, tentu bisa menerima. Namun yang terjadi sebaliknya.

Sejumlah sales obat yang kerap berhubungan dengan dokter atau rumah sakit menyebutkan bahwa memberikan bonus atau hadiah kepada dokter sesuatu yang wajar bagi mereka. Jangan pula kaget kalau servis yang diberikan kini semakin dahsyat. Mulai dari tawaran potongan harga besar-besaran, hadiah mobil, komisi bulanan, berlibur ke luar negeri hingga menyuguhkan wanita penghibur.

Denny Wahyudi, seorang manajer sebuah produsen obat menilai semua kiat itu bisa diterima dari sisi bisnis, meski dari sudut pandang etika tidak benar karena sangat merugikan konsumen obat. “Tapi bagaimana lagi, orientasi dokter sekarang memang bisnis. Jarang sekali kita melihat dokter yang idealis dalam menjalankan misi mereka,” paparnya.

Meski enggan memberikan keterangan secara langsung, para dokter yang ditemui Tim SIGI mengakui adanya pemberian hadiah atau komisi dari produsen obat melalui sales sebagai perpanjangan tangan. Dokter Syaffra Birwen misalnya, mengaku pernah didatangi salesman obat yang meminta dirinya meresepkan produk obat mereka kepada pasien. Bahkan, dia tahu betul kalau praktik tersebut sudah berlangsung sejak dia belum menjadi dokter. “Perjanjiannya hanya tahu sama tahu, tidak mungkin tertulis, si dokter bakal terjerat jika melakukan itu,” ujarnya.

Lebih gamblang lagi, seorang manajer sebuah produsen obat sebut saja namanya Hendrik, menjelaskan lebih rinci praktik yang dijalankan perusahaannya. Menurut Hendrik, persaingan di antara sesama perusahaan farmasi yang sudah melampaui batas membuat cara-cara promosi tidak lagi sesuai dengan etika. Misalnya dalam hal pemberian hadiah kepada seorang dokter, harus sesuai dengan kebutuhan profesi. Seperti memberi stetoskop masih dibolehkan. Kalau pendingin ruangan atau mobil itu jelas-jelas dilarang.

Kendati demikian kini kesepakatan antara seorang dokter dan sales obat sudah langsung mengarah ke jumlah angka nominal uang yang diinginkan. “Angka itu bisa jadi kita yang menawarkan atau permintaan dari dokternya,” jelas Hendrik.

Biasanya kata Hendrik, produsen obat akan berusaha mencari informasi tentang harga obat yang ditawarkan oleh kompetitor kepada seorang dokter. Jika harga sudah diketahui, akan dicari pula informasi tentang servis yang diberikan kompetitor kepada si dokter. “Kemudian kita akan memberikan harga yang lebih bersaing dengan servis yang juga lebih agar dokter bersangkutan memilih produk kita,” cerita Hendrik.

Dengan cara-cara seperti itu tidak aneh kalau uang yang digelontorkan perusahaan farmasi untuk keperluan promosi membuat kita ‘kagum’. Menurut penelitian Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), biaya promosi serta servis bagi dokter dalam setahun ditaksir lebih dari Rp 500 miliar.

Ketua YPKKI dokter Marius Widjajarta menambahkan, bukan hanya dokter, sebagian besar rumah sakit juga ikut-ikutan melakukan praktik tercela tersebut. Bahkan ada perusahaan obat yang memberikan bantuan miliaran rupiah untuk menambah fasilitas serta membangun gedung rumah sakit. “Kalau itu sampai terjadi maka celakalah pasien kita,” ungkap Marius dengan nada prihatin.

Adanya perselingkuhan di antara produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba. Misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. “Ada obat yang tidak perlu diberikan tapi tetap ditulis dalam resep,” ujar mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohammad. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama.

Dengan perselingkuhan di belakang layar antara dokter, rumah sakit atau apotek dengan perusahaan farmasi, yang menjadi korban tak lain para pasien. Kartu keluarga miskin (gakin) tidak lagi jaminan bahwa seorang pasien akan terbebas dari biaya berobat.

Di Rumah Sakit dokter Sardjito Yogyakarta misalnya, Tim SIGI menemukan seorang pasien pemegang kartu gakin bernama Ngalimun mengaku masih diharuskan membayar sejumlah biaya. “Saya tetap diminta membayar pembelian infus,” ujarnya.

Namun keterangan berbeda diberikan pejabat di bagian hubungan masyarakat rumah sakit ini Trisno Heru Nugroho. Menurutnya pihak rumah sakit telah membebaskan semua pasien gakin dari segala biaya. “Asal mereka mengikuti semua persyaratan pelayanan bagi pemegang kartu gakin,” jelasnya. Lantas, bagaimana dengan Ngalimun?

Ketua Umum IDI Farid Anfasa Moeloek tidak menolak adanya kolusi antara dokter atau organisasi profesi dengan produsen obat. Di satu sisi dia menyadari bahwa produsen obat memerlukan biaya dalam produksi serta pemasarannya. “Tapi mengambil keuntungan jangan terlalu berlebihan, yang penting itu kelayakan,” jelasnya.

Farid sendiri punya ide untuk menghilangkan gejala tak baik tersebut. Caranya adalah dengan menciptakan sebuah sistem pembayaran kesehatan di depan bagi para dokter dan paramedis. “Dengan sistem prabayar dalam bentuk asuransi, orientasinya bukan lagi sakit, tapi sehat,” papar Farid.

Namun Kartono melihat masalah utama selama ini adalah kurang tegasnya IDI terhadap anggota. Apalagi mereka yang bertugas menindak juga turut serta dalam lingkaran bisnis jual-beli obat di belakang layar tersebut. “Jadi wajar saja penindakan menjadi lemah,” jelasnya.

Kalau begitu, ada baiknya penertiban dilakukan terlebih dahulu dari kalangan dokter. Pasalnya jika seorang dokter berani berkata “tidak” pada produsen obat, hal ini tak akan terjadi. Begitu juga jika seorang dokter memahami misi mulia profesi yang diembannya, tak mungkin resep yang diberikan bakal membuat pasien bertambah sakit memikirkan cara menebus deretan obat dengan harga selangit.(ADO/Tim SIGI)

From Liputan 6 SCTV

Apotek Belum Pasang Harga Obat pada Kemasan

KOTA, WARTA KOTA–Meski Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) Pada Kemasan Obat mulai berlaku 3 Agustus, belum semua apotek melaksanakannya. Tak sedikit apotek yang belum menempelkan label harga pada setiap kemasan obat yang dijual ke masyarakat. Kurangnya sosialisasi dan kendala teknis, yakni tenaga dan waktu, menjadi alasan para pemilik apotek belum menaati kewajiban itu.Faisal, Wakil Administrasi Apotek Beji, Depok, mengaku baru tahu adanya keputusan menteri itu dua pekan silam. Beberapa obat memang sudah diberi label harga seperti obat bebas dan vitamin, tapi obat yang dibeli dengan resep dokter banyak yang belum dilabeli. Kendala teknisnya yaitu tenaga dan waktu untuk memberikan label pada setiap kemasan. Soalnya, jumlahnya mungkin mencapai ribuan jenis. “Baru tahu dua minggu lalu dari Ikatan Sarjana Farmasi. Mudah-mudahan bulan depan label harga obat sudah ditempelkan di setiap kemasan,” kata Faisal saat ditemui Warta Kota, Rabu (9/8).

Hal yang sama juga terjadi di Apotek Pala Farma di Jalan Nusantara, Depok. Baru sebagian kemasan obat yang diberi label harga. Susilo, pegawai Pala Farma, sudah mengetahui aturan itu sejak Maret lalu, namun keterbatasan tenaga menjadi kendala untuk menjalankan kewajiban itu. “Kalau mau ngerjain ini (menempelkan label harga di kemasan obat –Red), lalu yang melayani konsumen siapa,” katanya. Untuk menyampaikan harga obat kepada konsumen, dia memperlihatkan daftar harga obat yang ditaruh di dalam map plastik.

Sementara Apotek “G” di kawasan Jakarta Barat belum mencantumkan label sama sekali di kemasan obat. Bahkan Listya, Asisten Apoteker Apotik “G” mengaku belum mengetahui adanya ketentuan itu. “Belum denger tuh,” katanya singkat.

Konsumen sendiri, agaknya tidak terlalu mempedulikan adanya ketentuan Kepmenkes. “Sudah percaya saja. Karena saya tahu harga di sini lebih murah. Kalau enggak ada, baru cari di apotek lain,” ujar Ny Nayla yang ditemui di Apotek Beji ketika menebus obat alergi untuk anaknya sebesar Rp 175.000.

Santo juga demikian. Dia tidak terlalu pusing soal harga. Kalaupun menanyakan harga ke apotek, ketika mendapat resep dokter, tujuannya hanya untuk mengetahui apakah uang yang dibawa cukup. “Membeli obat kan hanya kalau sakit saja, itupun jarang. Jadi soal harga ya pasrah saja dengan harga yang ditetapkan apotek,” katanya.

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Soepari mengeluarkan Kepmenkes Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tanggal 7 Februari lalu tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) Pada Kemasan Obat. Namun keputusan itu berlaku efektif mulai 3 Agustus 2006. Kepmenkes itu berujuan untuk menginformasikan harga obat yang lebih transparan ke konsumen. HET dihitung dari harga netto obat di apotek ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, plus margin untuk apotek sebesar 25 persen. Menkes mengaku, saat ini pemerintah sulit mengontrol harga obat baik yang dilepas oleh produsen farmasi maupun yang ditetapkan apotek.

Sementara itu, pihak apotek juga mengaku tidak mengambil margin keuntungan yang banyak. Faisal mengakui jarang sekali mengambil margin sampai 25 persen. Paling banyak 20 persen. Begitu juga Listya. “Apotek di sini jarang mengambil margin sampai 25 persen. Persaingan ketat, kalau mahal-mahal pelanggan bisa lari,” katanya.

Pada bagian lain, konsumen sudah cukup pintar menyikapi harga obat. Misalnya dengan membeli obat generik. Padahal, saat ini ada juga obat paten yang lebih murah ketimbang obat generik. Contohnya, jenis simfastatin (untuk kolesterol). Obat generiknya Rp 1.500/tablet sedangkan obat paten Rp 1.000/tablet. (Iis)

Sumber: Warta Kota